Rabu, 04 Mei 2011

Sex Pra Akil Balik


Saya tidak tahu persis pada umur berapa ketika pertamakali  mendengar tentang kegiatan sex yang pasti ingatan tentang hal ini sebelum masa puber. Kemungkinannya umur antar 9 sampai 10 tahun. Masa itu bagi keluargaku belum memiliki sarana hiburan seperti televise. Jadi adanya wadah hiburan merupakan keasyikan tersediri. Salah satu hiburan gratis yang saya gandrungi adalah menonton tukang koyok, artinya ocehan penjuala obat. Jarak lima kilometer yang ditempuh dengan jalan kaki tidak menjadi masalah karena pergi dengan beberapa teman sebaya. Di Medan waktu itu wadah ini terpusat pada satu tempat yaitu lapangan merdeka. Dan salah satu pembicara yang paling menarik yang saya ingat adalah “Bung Jamal”. Seorang penjual obat kuat bagi pria.
Apa yang terekam dalam pikiranku adalah banyaknya pria menjadi lesu tak bergairah adalah karena terlalu sering melakukan kegiatan “one contra five” dalam bahasa local disebut “merancap”. Hal ini tertanam dalam benakku dan jika aku melihat pria-pria tidak bergairah, pucat dan lamban vonis sudah kujatuhkan, bahwa laki-laki ini pasti pelaku-pelaku yang disebutkan bung jamal. Tanpa ada bekal pemahaman sex baik dari keluarga maupun dari agama, kegiatan ini sudah merupakan tindakan bersalah yang harus dihindari.

Paradikma tentang penampilan yang tadinya merupakan nilai rendah tanpa disadari juga menguasai si pendakwa. Pada masa-masa yang seharusnya belum melakukan kegiatan sex ternyata telah masuk kedunia orang remaja. Bung jamal tidak mampu mengdoktrin paham ini, karena dia hanya mengatakan jangan berlebihan, bahkan mungkin memberikan solusi bagi pria yang gemar melakukan kegiatan one contra five dengan memakan obat yang di propagandakannya. Memang kami yang masih belum akil balik tidak membeli obat-obatan karena frekuensinya belum tinggi. Tetapi kegiatan ini telah kami lakukan secara bersama-sama, maupun secara sendiri sendiri dan mampu memcapai klimak dalam wujud rasa, sekalipun tanpa mengeluarkan sperma. Ini suatu informasi yang baru bagi orang-orang yang tidak menjadi bagian ini. Bahkan lebih dari sekedar onani, kami telah melakukannya dalam bentuk persetubuhan sesama lelaki. Ini mungkin kasuistis, namun dengan jumlah lebih dari empat orang dari kami seangkatan, walaupun ada diantara teman-teman yang tidak bergabung, menunjukkan pengaruh informasi sederhana ini berdampak luar biasa. Apalagi era sekarang yang dapat mengakses pornografi dengan mudah. Ketua LSM Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Timur, Ibu Sri Sanituti Hariadi, SH, MS mengungkapkan adanya gejala peningkatan ragam adegan porno yang dilakukan oleh anak-anak.
Sex memang anugerah Ilahi, tetapi waktu juga milik Tuhan termasuk fase yang tepat dan cara yang benar dalam penggunaannya. Beruntung bagi kelompok kami, bahwa kegiatan ini tidak sampai pada tingkat Kriminal, artinya melakukan pemerkosaan misalnya tetapi pengaruh kedepan jadi lebih tidak tertib. Onani sudah hal yang biasa namun melakukan kegiatan sex dengan binatang adalah hal yang begitu liar.

Pengaruh Lingkungan
Tidak dapat disangkal pengaruh lingkungan membentuk kepribadian seseorang. Dimulai dari pengaruh keluarga yang akan menjadi pertarungan bagi anak dengan pengaruh luar yang mau tidak mau bersinggungan dengan proses pertumbuhannya. Dapat dipastikan prilaku seseorang dipengaruhi inspirasi yang terserap dan menjadi masalah ketika informasi yang terserap tidak seimbang. Pengaruh amoral lebih dominan dari moral yang seharusnya. Kecendrungan melihat dunia luar rumah lebih menarik berdampak pada neraca penilaian tidak seimbang. Karena itu sejauah mana pengaruh yang ditanamkan lingkungan keluarga akan sangat berpengaruh terhadap penanam nilai nilai tadi. Namun keluarga perlu merenung apakah penyampaian pengajaran, motivasi serta pelaksanaan pengawasan dilakukan terukur dan terus di update sesuai perkembangan yang ada. Lebih dari itu hal terpenting adalah apakah orang tua menjadi teladan atas pengajaran yang ditanamkan. Adalah sia-sia ketika seorang Bapa melarang anaknya merokok, hanya karena masih kanak-kanak sementara orang tuanya terus ngebul. Atau mengatakan hal-hal yang harus di tabuhkan sementara anaknya menemukan gambar porno koleksi sang ayah. Anak kecil atau remaja tidak dapat di ajar dengan mengatakan dengar apa yang baik dari perkataannya dan jangan tiru perbuatannya yang jelek. Ini hanya komsumsi orang dewasa.

Lingkungan memang semakin rusak, tidak hanya alamnya tetapi kehidupan sosial yang terutama. Mungkin banyak orang tua mengeluh, bagaimana mungkin melawan pengaruh lingkungan berat ini. Bukanlah hal gampang pindah tempat tinggal, pindah sekolah unggulan, semuanya tidak dapat dipisahkan dengan kemampuan finansiil. Bahwa narkoba, sex bebas sudah hadir di kiri kanan kita bukan dibesar-besarkan. Ketika kaki melangkah keluar rumah, aroma ini yang pertama-tama tercium. Ketika melihat pelajar-pelajar dengan seragam sekolah bergegas pergi ke sekolah, mungkin terlintas pikiran apakah mereka ini salah satunya yang menjadi korban. Ini sudah berlebihan, lebay kata orang gaul. Tetapi benarkah berlebihan jika data anak dibawah umur, remaja yang jatuh dalam cengkraman narkoba cukup signifikan. Tidak terisolir hanya pada satu tempat, tetapi hampir di semua kota. Bukankah ini fakta yang harus di antisipasi dengan serius ? Nah apa hubungannya narkoba dengan sex ? Jawabnya orang-orang yang terikat narkoba dapat dipastikan adalah orang-orang yang telah melakukan kegiatan sex scara bebas. Jika orang-orang yang belum terpengaruh narkoba, atau minuman keras saja menjadi pelaku apalagi dorongan fly yang sangat sulit dibendung untuk berekspresi lanjut ini adalah golongan manusia yang tidak lagi menghiraukan norma-norma hukum apapun. Jadi semakin jelas indikasi yang harus diwaspadai orang tua sebagai ukuran dalam pengawasan anak. Tetapi apakah jawabannya harus mendapat tempat yang steril untuk berdiam, tentu tidak. Saatnya para orang tua menjadi terang dan garam dunia. Bukan bermaksud dengan masuk untuk berperang melawan lingkungan yang ada, tetapi lebih melakukan kebenaran dalam hidup dimanapun dan kapanpun.

Sudah saatnya orang tua menghancurkan tembok-tembok kekakuan dalam hubungannya dengan anak. Bapak tidak lagi berlaku sebagai seorang pemimpin yang harus dilayani sebagai komandan militer. Tetapi juga tidak sebagai oknum yang cuek yang memberikan kebebasan penuh kepada anak atau memang tidak berwibawa. Ketegasan perlu, tetapi kelembutan juga harus seimbang. Low inforcemen yang terukur tetap dilaksanakan untuk setiap kesalahan, tetapi reward juga deberikan bagi prestasi yang dicapai. Kehadiran figur bapa bukan dalam bentuk kehadiran fisik, tetapi lebih dari itu, siap dalam mengambil keputusan yang diperlukan keluarga, baik untuk istri maupun anak-anak. Tidak ada lagi jawaban Tanya mama jika seorang anak meminta keputusan seorang ayah. Dengan demikian suasana intim adalah kata kunci untuk untuk membentuk maupun menyelesaikan masalah-masalh dalam keluarga. Seorang bapa adalah seorang tokoh yang dihormati tetapi juga sebagai teman curhat maupun diskusi bagi anak. Dalam kerangka inilah, penanaman iman harapan dan kasih ditanamkan.


Marthin Siregar